Rabu, 07 Januari 2015

Memoar Aisha Pisarzewska


Postpartum Depression .Sebab Selalu Ada Jalan Mendekat Pada Ilahi
Dalam Dwilogi Memoar Aisha Memoar AishaPisarzewska
Oleh : Raidah Athirah
*****
Awal yang Melelahkan
Mengharapkan bantuan merawat bayi di negeri ini sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala ! Bahkan terkesan mustahil karena ruangan apartemen tak seperti rumah pada umumnya.Tak akan pernah ada tungku -tungku pembakaran yang menyala walau musim dingin telah menyapa Polandia. Tapi, entah kenapa masih saja aku berharap Abu Aisha sudi membayar beberapa puluh zløty untuk hadirnya asisten rumah tangga di apartemen kami.
Masih saja sesak dadaku hingga kini mengalir dalam nadi saat mengingat luka di malam abu-abu.Ya, masih saja terkenang tentang sosok perempuan asing yang duduk menangis di sudut apartemen Ulica Akademy memecah sunyi di ujung malam.
Perempuan itu adalah aku.Yang merasai hari -hari penuh kekalutan.Saat itu , aku merasa ngeri dengan diriku sendiri.Selalu , suara-suara mengerikan itu datang kemudian menekan , menggoda bahkan mengajak untuk melakukan hal yang sangat tak masuk akal .
" Bekap saja mulutnya dengan bantal ." Begitulah suara bisikan menekan jiwa untuk menyakiti bayi mungil yang menangis tak henti-henti .
Jika telah berada di puncak putus asa suara bisikan itu datang lagi mendesak memanggil malaikat maut .
" Kenapa aku tak mati saja saat melahirkan ?"
Masa-masa itu bermula di Szpital Na Solcu sampai kembali ke apartemen .Hari-hariku dipenuhi tangisan bayi , rumah yang berantakan , cucian yang menumpuk dan perjuangan menemukan harmoni antara rasa kasih kepada Aisha dan puting lecet yang berdarah-darah.
Tak ada yang bisa kumintai tolong untuk sekedar melepas penat.Budaya Polandia sungguh jauh berbeda dengan tanah air beta yang tercinta.Tak ada keluarga suami yang datang membantu merawat bayi dan melepaskan sedikit lega di hatiku sebagai ibu baru.Mustahil meminta mertuaku datang dan menginap di apartemen.Ibuku di Legionowo bekerja di bank sedangkan ayahku adalah seorang penyanyi yang sedang sibuk dengan jadwal manggung yang tak henti-henti.
Tinggallah hari-hari lelah itu hanya aku dan Abdullah yang menjalani.Terkadang aku melihat gelisah di raut wajah suamiku.Apalagi ketika tangis putri kami tak ada tanda-tanda akan berhenti.Aku seakan tak ingin bernafas bilamana mengingat cerita tetangga melaporkan tetangga lain ke polisi karena membuat keributan setiap malam.Dan begitulah keadaan yang datang .Tangis putriku selalu menghiasi malam menimbulkan keributan yang tak bisa kami atasi.
Saat gelap benar-benar menjadi pekat.Dan udara dingin menyelimuti tanah Polandia , wajah dingin Eropa pun menyatu dengan bumi .Masa itu tubuh -tubuh manusia telah beristirahat di peraduan.Dan tinggal aku duduk menggendong Aisha , menyusuinya agar tak menangis .Aku lebih takut mendengar tangisnya daripada memikirkan remuk tubuhku setelah melahirkan .
Maka yang terlihat di minggu-minggu awal adalah wajah kusut , kurus dan tatapan kosong.Terkadang kepanikan itu menggila hanya karena aku akan melangkah ke kamar mandi namun tangis Aisha telah memanggil.Aku akhirnya melangkah mundur meninggalkan bau harum ruangan kamar mandi dan membiarkan abaya itu tetap melekat dalam tubuh berhari-hari.
Bau pil penambah darah masih kurasakan.Suntikan selepas salat subuh ke bagian perutku sudah menjadi rutinitas bagi Abu Aisha. Sudah tak terhitung berpuluh suntikan membekas di kulit perut.
Aku mencoba merenungi perjalanan.Mengais memori , merangkai peristiwa demi peristiwa.Aku mengira perilaku ajaibku semata-mata karena aku berada dalam lembaran baru dengan predikat sebagai ibu.Aku mencari pemakluman dari semua emosi yang berantakan.
Namun aku semakin tersesat dalam labirin pikiran-pikiran yang menggila.Aku bukan ibu yang baik .Aku bahkan tak becus menyusui.Mengganti popok pun tanganku bergetar .Sakit yang datang dari jahitan perut tak terlalu kuhiraukan .Satu patah kata yang kurang berkenan dari Abu Aisha dapat membuat tekadku membulat teguh.Ingin kabur dari apartemen , ingin berpisah atau titik puncaknya adalah aku ingin mengakhiri hidupku.Sungguh sebuah putus asa yang harus ditolong.
Insyah Allah selengkapnya dalam Dwilogi Memoar Aisha Pisarzewska

Tidak ada komentar:

Posting Komentar